PELANGGARAN ADALAH AWAL DARI KECELAKAAN

Rencana Induk Jaringan LLAJ Bagian Keenam

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi Enam Bagian.

Bagian Kesatu, Bagian Kedua, Bagian Ketiga, Bagian Keempat, dan Bagian Kelima, termuat pada halaman tersendiri di Web Site ini. Sedangkan berikutnya adalah Jaringan LLAJ Bagian Keenam, yaitu :

Bagian Keenam
Fasilitas Pendukung
Pasal 45

(1) Fasilitas pendukung penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:

a. trotoar;

b. lajur sepeda;

c. tempat penyeberangan Pejalan Kaki;

d. Halte; dan/atau

e. fasilitas khusus bagi penyandang cacat dan manusia usia lanjut.

(2) Penyediaan fasilitas pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;

b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;

c. pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa;

d. pemerintah kota untuk jalan kota; dan

e. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

Pasal 46

(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, pengelolaan, dan pemeliharaan fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dapat bekerja sama dengan pihak swasta.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, serta spesifikasi teknis fasilitas pendukung Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah

Berikutnya, BAB VII tentang KENDARAAN yang terbagi dalam Delapan Bagian pembahasan.

Read more... UU LLAJ

Rencana Induk Jaringan LLAJ Bagian Kelima

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi lima bagian.

Bagian Kesatu, Bagian Kedua, Bagian Ketiga, dan Bagian Keempat, termuat pada halaman tersendiri di Web Site ini. Sedangkan berikutnya adalah Jaringan LLAJ Bagian Kelima, yaitu :

Bagian Kelima

Fasilitas Parkir

Pasal 43


(1) Penyediaan fasilitas Parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan.

(2) Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa:

a. usaha khusus perparkiran; atau

b. penunjang usaha pokok.

(3) Fasilitas Parkir di dalam Ruang Milik Jalan hanya dapat diselenggarakan di tempat tertentu pada jalan kabupaten, jalan desa, atau jalan kota yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas, dan/atau Marka Jalan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 44


Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas Parkir untuk umum dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan memperhatikan:

a. rencana umum tata ruang;

b. analisis dampak lalu lintas; dan

c. kemudahan bagi Pengguna Jasa.

Jaringan LLAJ Bagian Keenam mengenai Fasilitas Pendukung
Read more... UU LLAJ

Rencana Induk Jaringan LLAJ Bagian Keempat

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi Enam Bagian.

Bagian Kesatu, Bagian Kedua, dan Bagian Ketiga, termuat pada halaman tersendiri di Web Site ini. Sedangkan berikutnya adalah Jaringan LLAJ Bagian Keempat, yaitu :

Bagian Keempat

Terminal

Paragraf 1

Fungsi, Klasifikasi, dan Tipe Terminal

Pasal 33

(1) Untuk menunjang kelancaran perpindahan orang dan/atau barang serta keterpaduan intramoda dan antarmoda di tempat tertentu, dapat dibangun dan diselenggarakan Terminal.

(2) Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Terminal penumpang dan/atau Terminal barang.

Pasal 34

(1) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menurut pelayanannya dikelompokkan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C.

(2) Setiap tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dalam beberapa kelas berdasarkan intensitas Kendaraan yang dilayani.

Pasal 35

Untuk kepentingan sendiri, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan swasta dapat membangun Terminal barang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam izin trayek.

Paragraf 2

Penetapan Lokasi Terminal

Pasal 37

(1) Penentuan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Terminal yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Penetapan lokasi Terminal dilakukan dengan memperhatikan:

a. tingkat aksesibilitas Pengguna Jasa angkutan;

b. kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;

c. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja jaringan Jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas;

d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f. permintaan angkutan;

g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h. Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau

i. kelestarian lingkungan hidup.

Paragraf 3

Fasilitas Terminal

Pasal 38

(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib menyediakan fasilitas Terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.

(2) Fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi fasilitas utama dan fasilitas penunjang.

(3) Untuk menjaga kondisi fasilitas Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelenggara Terminal wajib melakukan pemeliharaan.

Paragraf 4

Lingkungan Kerja Terminal

Pasal 39

(1) Lingkungan kerja Terminal merupakan daerah yang diperuntukkan bagi fasilitas Terminal.

(2) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh penyelenggara Terminal dan digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas Terminal.

(3) Lingkungan kerja Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota, khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.

Paragraf 5

Pembangunan dan Pengoperasian Terminal

Pasal 40

(1) Pembangunan Terminal harus dilengkapi dengan:

a. rancang bangun;

b. buku kerja rancang bangun;

c. rencana induk Terminal;

d. analisis dampak Lalu Lintas; dan

e. analisis mengenai dampak lingkungan.

(2) Pengoperasian Terminal meliputi kegiatan:

a. perencanaan;

b. pelaksanaan; dan

c. pengawasan operasional Terminal.

Pasal 41

(1) Setiap penyelenggara Terminal wajib memberikan pelayanan jasa Terminal sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.

(2) Pelayanan jasa Terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan retribusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6

Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, klasifikasi, tipe, penetapan lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan, dan pengoperasian Terminal diatur dengan peraturan pemerintah.

Jaringan LLAJ Bagian Kelima mengenai Fasilitas Parkir
Read more... UU LLAJ

Rencana Induk Jaringan LLAJ Bagian Ketiga

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi Enam Bagian.

Bagian Kesatu dan Bagian Kedua termuat pada halaman tersendiri di Web Site ini. Sedangkan berikutnya adalah Jaringan LLAJ Bagian Ketiga, yaitu :

Bagian Ketiga

Dana Preservasi Jalan

Pasal 29

(1) Untuk mendukung pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar, kondisi Jalan harus dipertahankan.

(2) Untuk mempertahankan kondisi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperlukan Dana Preservasi Jalan.

(3) Dana Preservasi Jalan digunakan khusus untuk kegiatan pemeliharaan, rehabilitasi, dan rekonstruksi Jalan.

(4) Dana Preservasi Jalan dapat bersumber dari Pengguna Jalan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

Pengelolaan Dana Preservasi Jalan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip berkelanjutan, akuntabilitas, transparansi, keseimbangan, dan kesesuaian.

Pasal 31

Dana Preservasi Jalan dikelola oleh unit pengelola Dana Preservasi Jalan yang bertanggung jawab kepada Menteri di bidang Jalan.

Pasal 32

Ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja unit pengelola Dana Preservasi Jalan diatur dengan peraturan Presiden.

Jaringan LLAJ Bagian Kempat mengenai Terminal
Read more... UU LLAJ

Rencana Induk Jaringan LLAJ Bagian Kedua

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi enam bagian.

Bagian Kesatu termuat pada halaman tersendiri di Web Site ini. Sedangkan berikutnya adalah Jaringan LLAJ Bagian Kedua, yaitu :

Bagian Kedua

Ruang Lalu Lintas
Paragraf 1

Kelas Jalan

Pasal 19

(1) Jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas berdasarkan:

a. fungsi dan intensitas Lalu Lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan Jalan dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

b. daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi Kendaraan Bermotor.

(2) Pengelompokan Jalan menurut kelas Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. jalan kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 10 (sepuluh) ton;

b. jalan kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000 (dua belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton;

c. jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 (dua ribu seratus) milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 (sembilan ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 3.500 (tiga ribu lima ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat 8 (delapan) ton; dan
d. jalan kelas khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui Kendaraan Bermotor dengan ukuran lebar melebihi 2.500 (dua ribu lima ratus) milimeter, ukuran panjang melebihi 18.000 (delapan belas ribu) milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 (empat ribu dua ratus) milimeter, dan muatan sumbu terberat lebih dari 10 (sepuluh) ton.

(3) Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan kelas III sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat ditetapkan muatan sumbu terberat kurang dari 8 (delapan) ton.

(4) Kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jalan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan kelas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 20

(1) Penetapan kelas jalan pada setiap ruas jalan dilakukan oleh:

a. Pemerintah, untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi, untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten, untuk jalan kabupaten; atau
d. pemerintah kota, untuk jalan kota.

(2) Kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan kelas jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan tata cara penetapan kelas jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Paragraf 2

Penggunaan dan Perlengkapan Jalan

Pasal 21

(1) Setiap Jalan memiliki batas kecepatan paling tinggi yang ditetapkan secara nasional.

(2) Batas kecepatan paling tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan kawasan permukiman, kawasan perkotaan, jalan antarkota, dan jalan bebas hambatan.

(3) Atas pertimbangan keselamatan atau pertimbangan khusus lainnya, Pemerintah Daerah dapat menetapkan batas kecepatan paling tinggi setempat yang harus dinyatakan dengan Rambu Lalu Lintas.

(4) Batas kecepatan paling rendah pada jalan bebas hambatan ditetapkan dengan batas absolut 60 (enam puluh) kilometer per jam dalam kondisi arus bebas.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai batas kecepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 22

(1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi Jalan secara teknis dan administratif.

(2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi Jalan sebelum pengoperasian Jalan.

(3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.

(4) Uji kelaikan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh tim uji laik fungsi Jalan yang dibentuk oleh penyelenggara Jalan.

(5) Tim uji laik fungsi Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas unsur penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

(1) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi Jalan dan/atau peningkatan kapasitas Jalan wajib menjaga Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(2) Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 24

(1) Penyelenggara Jalan wajib segera dan patut untuk memperbaiki Jalan yang rusak yang dapat mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas.

(2) Dalam hal belum dapat dilakukan perbaikan Jalan yang rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Jalan wajib memberi tanda atau rambu pada Jalan yang rusak untuk mencegah terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas.

Pasal 25

(1) Setiap Jalan yang digunakan untuk Lalu Lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan Jalan berupa:

a. Rambu Lalu Lintas;

b. Marka Jalan;

c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas;

d. alat penerangan Jalan;

e. alat pengendali dan pengaman Pengguna Jalan;

f. alat pengawasan dan pengamanan Jalan;

g. fasilitas untuk sepeda, Pejalan Kaki, dan penyandang cacat; dan

h. fasilitas pendukung kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berada di Jalan dan di luar badan Jalan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 26

(1) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) diselenggarakan oleh:

a. Pemerintah untuk jalan nasional;
b. pemerintah provinsi untuk jalan provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa; atau
d. badan usaha jalan tol untuk jalan tol.

(2) Penyediaan perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

(1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, dan volume Lalu Lintas.

(2) Ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dengan peraturan daerah.

Pasal 28

(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.
(2) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).

Jaringan LLAJ Bagian Ketiga mengenai Dana Preservasi Jalan
Read more... UU LLAJ

Rencana Induk Jaringan LLAJ (Bagian Kesatu)

UU No.22 Tahun 2009, pada BAB VI mengenai JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN diatur dalam undang-undang ini menjadi Enam Bagian, Bagian kesatu memuat, yaitu :

BAB VI
JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Bagian Kesatu
Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Pasal 14

(1) Untuk mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.

(2) Pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan kebutuhan.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota.

Pasal 15

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf a disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan transportasi dan ruang kegiatan berskala nasional.

(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional memuat:
a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup nasional;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan nasional dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul nasional; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas nasional.

Pasal 16

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan ruang kegiatan berskala provinsi.

(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup provinsi;

b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;

c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul provinsi; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas provinsi.

Pasal 17

(1) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf c disusun secara berkala dengan mempertimbangkan kebutuhan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta ruang kegiatan berskala kabupaten/kota.

(2) Proses penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

d. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan

e. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

(3) Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota memuat:

a. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan lingkup kabupaten/kota;
b. arah dan kebijakan peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
c. rencana lokasi dan kebutuhan Simpul kabupaten/kota; dan

d. rencana kebutuhan Ruang Lalu Lintas kabupaten/kota.

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan penetapan Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Jaringan LLAJ Bagian Kedua mengenai Ruang Lalu Lintas
Read more... UU LLAJ

Penyelenggaraan LLAJ

UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, pada BAB V mengenai Penyelenggaraan, yaitu :

BAB V
PENYELENGGARAAN
Pasal 7

(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.

(2) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi:

a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan;

b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri;

d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan

e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 8

Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, yaitu:

a. inventarisasi tingkat pelayanan Jalan dan permasalahannya;

b. penyusunan rencana dan program pelaksanaannya serta penetapan tingkat pelayanan Jalan yang diinginkan;

c. perencanaan, pembangunan, dan optimalisasi pemanfaatan ruas Jalan;

d. perbaikan geometrik ruas Jalan dan/atau persimpangan Jalan;

e. penetapan kelas Jalan pada setiap ruas Jalan;

f. uji kelaikan fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas; dan

g. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang prasarana Jalan.

Pasal 9

Penyelenggaraan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
a. penetapan rencana umum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

b. Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas;

c. persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;

d. perizinan angkutan umum;

e. pengembangan sistem informasi dan komunikasi di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

f. pembinaan sumber daya manusia penyelenggara sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

g. penyidikan terhadap pelanggaran perizinan angkutan umum, persyaratan teknis dan kelaikan Jalan Kendaraan Bermotor yang memerlukan keahlian dan/atau peralatan khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 10

Penyelenggaraan di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan industri Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan industri perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan industri perlengkapan Jalan yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 11

Penyelenggaraan di bidang pengembangan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d meliputi:

a. penyusunan rencana dan program pelaksanaan pengembangan teknologi Kendaraan Bermotor;

b. pengembangan teknologi perlengkapan Kendaraan Bermotor yang menjamin Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan

c. pengembangan teknologi perlengkapan Jalan yang menjamin Ketertiban dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Pasal 12

Penyelenggaraan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e meliputi:

a. pengujian dan penerbitan Surat Izin Mengemudi Kendaraan Bermotor;

b. pelaksanaan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor;

c. pengumpulan, pemantauan, pengolahan, dan penyajian data Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

d. pengelolaan pusat pengendalian Sistem Informasi dan Komunikasi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;

e. pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli Lalu Lintas;

f. penegakan hukum yang meliputi penindakan pelanggaran dan penanganan Kecelakaan Lalu Lintas;

g. pendidikan berlalu lintas;

h. pelaksanaan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan

i. pelaksanaan manajemen operasional Lalu Lintas.

Pasal 13

(1) Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.

(2) Koordinasi Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(3) Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

(4) Keanggotaan forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur pembina, penyelenggara, akademisi, dan masyarakat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur dengan peraturan pemerintah.

Berikutnya, BAB VI membahas tentang mewujudkan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang terpadu dilakukan pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menghubungkan semua wilayah di daratan.
Read more... UU LLAJ